Monologku

| | 0 komentar
Chapter I - Di Suatu kesempatan aku bertanya “Apakah ‘status’ itu perlu?” Di berbagai kesempatan yang aku lewatkan aku malah melihat jelas bahwa ‘status’ itu mutlak di miliki dan digunakan oleh setiap individu. ‘Status’ apa saja dia tetap ‘status’ yang bisa dibanggakan oleh pemegang ‘status’. Aku rindu pada ‘status’. Entah ‘status’ apakah yang sesuai dengan kondisiku saat ini. Tidak harus ‘kaya’ dan juga tidak harus ‘miskin’. Yang penting ‘status’ yang cukup kesederhanaan yang mampu mendefinisikan aku sebagai lelaki ber’status’.

Di sekolah sekejap aku menjelma sebagai guru. Menjadi pembimbing akademis anak-anakku. Anak-anak secara akademis yang mampu merubah paradigma aku sebagai lelaki. Bahwa seorang lelaki harus mempersiapkan diri lahir batin untuk suatu saat nanti menjadi pembimbing anak-anak biologisnya. Tak perlu terlalu banyak aku mencari referensi tentang psikologi anak. Secara langsung aku rangkul mereka dengan penuh cinta – kesabaran yang tiada batas, agar mereka mengerti aku menginginkan mereka bisa menjadi pelita di hari esok.

Hampir saja aku mampus oleh kegoblokan yang tidak aku sadari – tidak aku akui aku ini manusia yang goblok. Untuk apa menempatkan ilusi di rating pertama ruang imajinasiku. Gila!!! Edan!!! Aku ini sarjana. Pernah terdaftar sebagai mahasiswa, walau endingnya cukup aku ucapkan “Alhamdulillah lulus tepat waktu.” Aku belajar berbagai disiplin ilmu yang sampai saat ini aku bingung menerapkannya dengan berbagai metodologi yang tidak bisa diterima banyak orang. Atau jangan-jangan penyebab utama kegoblokanku ini karena aku tidak berani mengakui bahwa diriku ‘Goblok’ dan aku merasa yakin dengan bahan-bahan bacaan yang selama ini aku baca – aku orang yang berintelektual daripada mereka yang awam. Astaghfirullah.

Ada banyak kekhawatiran yang selama ini mengalir dalam aliran darahku. Yang aku khawatirkan jika aku ternyata bukan seorang manusia. Yang aku khawatirkan bukanlah kekhawatiran yang lumrah. Aku menduga bahwa aku ini dungu - bebal. Ternyata tepat dugaanku itu. Yang aku khawatirkan nanti jika tidak ada seorang perempuan pun yang berkenan menjadi ibu dari anak-anakku. Apakah ini prasangka yang negatif? Aku rasa tidak. Karena aku selalu melihat realita. Realita bahwa sampai tulisan ini aku buat statusku sebagai seorang pria belum juga terdefinisikan secara baik oleh seorang perempuan manapun. Yang aku khawatirkan adalah kumpulan dari kekhawatiran-kekhawatiran yang aku timbun, tanpa ada satu pun yang terbuang. Aku hidup berdampingan dengan kekhawatiran dilema batinku. Kekhawatiran 'status' yang belum juga pantas untuk aku kenakan klimaks dari segala k.ekhawatiranku yang tersimpan. Aku ingin 'status' yang biasa saja, yang tidak muluk-muluk. Menjadi 'status' pria yang layak di harap-harapkan oleh satu saja perempuan. Tidak perlu menjadi coverboy. Aku sadar kapasitas diriku. Wajah ndeso. Tampang pas-pasan. Penampilan Fakir. Dan berbusana kusut.

'Status' akan merubah pola hidup siapa saja, termasuk aku. 'Status' aku belum juga terdefenisikan. Tidak salah jika aku sedikit menikmati nuansa neourosis. Aku menciptakan suasana-suasana yang aku mau, merancang narasi cinta seperti cintanya orang-orang di dunia nyata. Entah kenapa aku begitu menikmati penuh keadaan itu.

'Status' yang berhak menjadi pengharapan perempuan manapun, bahkan menjadi tambahan dalam do'a adalah lelaki yang mempunyai kapasitas rupawan, otak cerdas, masa depan yang tertata, pola hidup yang teratur, memiliki loyalitas yang tinggi pada satu kekasih, monogami, sopan-santun, dinamis, dll - yang jelas merupakan mimpi, khayalan, keinginan yang benar-benar ingin menjadi kenyataan dalam kehidupan para perempuan..



Patut aku syukuri sepanjang hayat, Allah tidak menganugerahkan aku 'status' lelaki ideal. Tapi, Allah memberikan aku sensor penyadaran diriku sepenuhnya - aku hina - sperma yang berjasad - segumpal tanah yang akan menyatu dengan bumi. Mungkin aku juga perlu semacam refleksi pendekatan dengan beberapa perempuan agar aku tidak katro-katro banget.. Tidak lebih dari sebulan Allah mengkondisikan aku seolah-olah ber'status' lelaki ideal. Alhamdulillah.
-Monolog Bagus Setyoko Purwo di keramaian Jakarta dan pinggiran Bekasi-

Sang Sufi Sejati

Sang Sufi Sejati
Ma'rifatullah

WARNING UNTUK SEMUA MANUSIA

WARNING UNTUK SEMUA MANUSIA

Sufi Dalam Lingkaran Tauhid

Sufi Dalam Lingkaran Tauhid

Cak Nun

Cak Nun
Guru Besar Universitas Kenduri Cinta

WARNING UNTUK SEMUA CALON ALMARHUM/MA

WARNING UNTUK SEMUA CALON ALMARHUM/MA


SANG PUTRA FAJAR

SANG PUTRA FAJAR

Sufi Meditiation

Sufi Meditiation